Selasa, 20 November 2012

STRATEGI DAN KEGIATAN PROMOSI KESEHATAN


STRATEGI DAN KEGIATAN PROMOSI KESEHATAN
A.    Pengertian dan Lingkup Promosi Kesehatan
Dewasa ini promosi kesehatan (health promotion) telah menjadi bidang yang semakin penting dari tahun ke tahun. Dalam tiga dekade terakhir, telah terjadi perkembangan yang signifikan dalam hal perhatian dunia mengenai masalah promosi kesehatan. Pada 21 November 1986, World Health Organization (WHO) menyelenggarakan Konferensi Internasional Pertama bidang Promosi Kesehatan yang diadakan di Ottawa, Kanada. Konferensi ini dihadiri oleh para ahli kesehatan seluruh dunia, dan menghasilkan sebuah dokumen penting yang disebut Ottawa Charter (Piagam Ottawa). Piagam ini menjadi rujukan bagi program promosi kesehatan di tiap negara, termasuk Indonesia.
Dalam Piagam Ottawa disebutkan bahwa promosi kesehatan adalah proses yang memungkinkan orang-orang untuk mengontrol dan meningkatkan kesehatan mereka (Health promotion is the process of enabling people to increase control over, and to improve, their health, WHO, 1986). Jadi, tujuan akhir promosi kesehatan adalah kesadaran di dalam diri orang-orang tentang pentingnya kesehatan bagi mereka sehingga mereka sendirilah yang akan melakukan usaha-usaha untuk menyehatkan diri mereka.
Lebih lanjut dokumen itu menjelaskan bahwa untuk mencapai derajat kesehatan yang sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial, individu atau kelompok harus mampu mengenal serta mewujudkan aspirasi-aspirasinya untuk memenuhi kebutuhannya dan agar mampu mengubah atau mengatasi lingkungannya (lingkungan fisik, sosial budaya, dan sebagainya). Kesehatan adalah sebuah konsep positif yang menitikberatkan sumber daya pada pribadi dan masyarakat sebagaimana halnya pada kapasitas fisik. Untuk itu, promosi kesehatan tidak hanya merupakan tanggung jawab dari sektor kesehatan, akan tetapi jauh melampaui gaya hidup secara sehat untuk kesejahteraan (WHO, 1986).
Penyelenggaraan promosi kesehatan dilakukan dengan mengombinasikan berbagai strategi yang tidak hanya melibatkan sektor kesehatan belaka, melainkan lewat kerjasama dan koordinasi segenap unsur dalam masyarakat. Hal ini didasari pemikiran bahwa promosi kesehatan adalah suatu filosofi umum yang menitikberatkan pada gagasan bahwa kesehatan yang baik merupakan usaha individu sekaligus kolektif (Taylor, 2003).
Bagi individu, promosi kesehatan terkait dengan pengembangan program kebiasaan kesehatan yang baik sejak muda hingga dewasa dan lanjut usia (Taylor, 2003). Secara kolektif, berbagai sektor, unsur, dan profesi dalam masyarakat seperti praktisi medis, psikolog, media massa, para pembuat kebijakan publik dan perumus perundang-undangan dapat dilibatkan dalam program promosi kesehatan. Praktisi medis dapat mengajarkan kepada masyarakat mengenai gaya hidup yang sehat dan membantu mereka memantau atau menangani risiko masalah kesehatan tertentu. Para psikolog berperan dalam promosi kesehatan lewat pengembangan bentuk-bentuk intervensi untuk membantu masyarakat memraktikkan perilaku yang sehat dan mengubah kebiasaan yang buruk. Media massa dapat memberikan kontribusinya dengan menginformasikan kepada masyarakat perilaku-perilaku tertentu yang berisiko terhadap kesehatan seperti merokok dan mengonsumsi alkohol. Para pembuat kebijakan melakukan pendekatan secara umum lewat penyediaan informasi-informasi yang diperlukan masyarakat untuk memelihara dan mengembangkan gaya hidup sehat, serta penyediaan sarana-sarana dan fasilitas yang diperlukan untuk mengubah kebiasaan buruk masyarakat. Berikutnya, perumus perundang-undangan dapat menerapkan aturan-aturan tertentu untuk menurunkan risiko kecelakaan seperti misalnya aturan penggunaan sabuk pengaman di kendaraan (Taylor, 2003).
Promosi kesehatan mencakup baik kegiatan promosi (promotif), pencegahan penyakit (preventif), pengobatan (kuratif), maupun rehabilitasi. Dalam hal ini, orang-orang yang sehat maupun mereka yang terkena penyakit, semuanya merupakan sasaran kegiatan promosi kesehatan. Kemudian, promosi kesehatan dapat dilakukan di berbagai ruang kehidupan, dalam keluarga, sekolah, tempat kerja, tempat-tempat umum, dan tentu saja kantor-kantor pelayanan kesehatan.
Dari paparan di atas, tampaklah bahwa lingkup promosi kesehatan bukan semata-mata pendidikan, penyuluhan, atau serangkaian kampanye mengenai masalah kesehatan. Menurut Kapalawi, pendidikan atau penyuluhan kesehatan memang memiliki sasaran yang sama, yaitu perubahan perilaku individu atau kelompok untuk peningkatan derajat kesehatan. Namun sebenarnya keduanya hanya merupakan bagian kecil dari promosi kesehatan. Promosi kesehatan bersifat lebih luas atau lebih makro lagi dan lebih menyentuh sisi advokasi pada level pembuat kebijakan di mana promosi kesehatan berusaha melakukan perubahan pada lingkungan dengan harapan terjadinya perubahan perilaku yang lebih baik (Kapalawi, 2007). Menurut Green dan Ottoson (dalam Iqi, 2008), promosi kesehatan adalah kombinasi berbagai dukungan menyangkut pendidikan, organisasi, kebijakan, dan peraturan perundangan untuk perubahan lingkungan dan perilaku yang menguntungkan kesehatan.
B.     Lingkup promosi kesehatan
Oleh karena itu, lingkup promosi kesehatan dapat disimpulkan sebagai berikut (Iqi, 2008):
1. Pendidikan kesehatan (health education) yang penekanannya pada perubahan/perbaikan perilaku melalui peningkatan kesadaran, kemauan, dan kemampuan.
2. Pemasaran sosial (social marketing), yang penekanannya pada pengenalan produk/jasa melalui kampanye.
3. Upaya penyuluhan (upaya komunikasi dan informasi) yang tekanannya pada penyebaran informasi.
4. Upaya peningkatan (promotif) yang penekanannya pada upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan.
5. Upaya advokasi di bidang kesehatan, yaitu upaya untuk memengaruhi lingkungan atau pihak lain agar mengembangkan kebijakan yang berwawasan kesehatan (melalui upaya legislasi atau pembuatan peraturan, dukungan suasana, dan lain-lain di berbagai bidang/sektor, sesuai keadaan).
6. Pengorganisasian masyarakat (community organization), pengembangan masyarakat (community development), penggerakan masyarakat (social mobilization), pemberdayaan masyarakat (community empowerment), dll.
C.    Kegiatan Promosi Kesehatan
Kesehatan memerlukan prasyarat-prasyarat yang terdiri dari berbagai sumber daya dan kondisi dasar, meliputi perdamaian (peace), perlindungan (shelter), pendidikan (education), makanan (food), pendapatan (income), ekosistem yang stabil (a stable eco-system), sumber daya yang berkesinambungan (a sustainable resources), serta kesetaraan dan keadilan sosial (social justice and equity) (WHO, 1986). Upaya-upaya peningkatan promosi kesehatan harus memerhatikan semua prasyarat tersebut.
WHO, lewat Konferensi Internasional Pertama tentang Promosi Kesehatan di Ottawa pada tahun 1986, telah merumuskan sejumlah kegiatan yang dapat dilakukan oleh setiap negara untuk menyelenggarakan promosi kesehatan. Berikut akan disediakan terjemahan dari Piagam Ottawa pada bagian yang diberi subjudul Health Promotion Action Means. Menurut Piagam Ottawa, kegiatan-kegiatan promosi kesehatan berarti:
1. Membangun kebijakan publik berwawasan kesehatan (build healthy public policy)
Promosi kesehatan lebih daripada sekadar perawatan kesehatan. Promosi kesehatan menempatkan kesehatan pada agenda dari pembuat kebijakan di semua sektor pada semua level, mengarahkan mereka supaya sadar akan konsekuensi kesehatan dari keputusan mereka dan agar mereka menerima tanggung jawab mereka atas kesehatan.
Kebijakan promosi kesehatan mengombinasikan pendekatan yang berbeda namun dapat saling mengisi termasuk legislasi, perhitungan fiskal, perpajakan, dan perubahan organisasi. Ini adalah kegiatan yang terkoordinasi yang membawa kepada kesehatan, pendapatan, dan kebijakan sosial yang menghasilkan kesamaan yang lebih besar. Kegiatan terpadu memberikan kontribusi untuk memastikan barang dan jasa yang lebih aman dan lebih sehat, pelayanan jasa publik yang lebih sehat dan lebih bersih, dan lingkungan yang lebih menyenangkan.
Kebijakan promosi kesehatan memerlukan identifikasi hambatan untuk diadopsi pada kebijakan publik di luar sektor kesehatan, serta cara menghilangkannya. Hal ini dimaksudkan agar dapat membuat pilihan yang lebih sehat dan lebih mudah untuk pembuat keputusan.
2. Menciptakan lingkungan yang mendukung (create supportive environments)
Masyarakat kita kompleks dan saling berhubungan. Kesehatan tidak dapat dipisahkan dari tujuan-tujuan lain. Kaitan yang tak terpisahkan antara manusia dan lingkungannya menjadikan basis untuk sebuah pendekatan sosio-ekologis bagi kesehatan. Prinsip panduan keseluruhan bagi dunia, bangsa, kawasan, dan komunitas yang serupa, adalah kebutuhan untuk memberi semangat pemeliharaan yang timbal-balik —untuk memelihara satu sama lain, komunitas, dan lingkungan alam kita. Konservasi sumber daya alam di seluruh dunia harus ditekankan sebagai tanggung jawab global.
Perubahan pola hidup, pekerjaan, dan waktu luang memiliki dampak yang signifikan pada kesehatan. Pekerjaan dan waktu luang harus menjadi sumber kesehatan untuk manusia. Cara masyarakat mengatur kerja harus dapat membantu menciptakan masyarakat yang sehat. Promosi kesehatan menciptakan kondisi hidup dan kondisi kerja yang aman, yang menstimulasi, memuaskan, dan menyenangkan.
Penjajakan sistematis dampak kesehatan dari lingkungan yang berubah pesat.—terutama di daerah teknologi, daerah kerja, produksi energi dan urbanisasi–- sangat esensial dan harus diikuti dengan kegiatan untuk memastikan keuntungan yang positif bagi kesehatan masyarakat. Perlindungan alam dan lingkungan yang dibangun serta konservasi dari sumber daya alam harus ditujukan untuk promosi kesehatan apa saja.
3. Memerkuat kegiatan-kegiatan komunitas (strengthen community actions)
Promosi kesehatan bekerja melalui kegiatan komunitas yang konkret dan efisien dalam mengatur prioritas, membuat keputusan, merencanakan strategi dan melaksanakannya untuk mencapai kesehatan yang lebih baik. Inti dari proses ini adalah memberdayakan komunitas –-kepemilikan mereka dan kontrol akan usaha dan nasib mereka.
Pengembangan komunitas menekankan pengadaan sumber daya manusia dan material dalam komunitas untuk mengembangkan kemandirian dan dukungan sosial, dan untuk mengembangkan sistem yang fleksibel untuk memerkuat partisipasi publik dalam masalah kesehatan. Hal ini memerlukan akses yang penuh serta terus menerus akan informasi, memelajari kesempatan untuk kesehatan, sebagaimana penggalangan dukungan.
4. Mengembangkan keterampilan individu (develop personal skills)
Promosi kesehatan mendukung pengembangan personal dan sosial melalui penyediaan informasi, pendidikan kesehatan, dan pengembangan keterampilan hidup. Dengan demikian, hal ini meningkatkan pilihan yang tersedia bagi masyarakat untuk melatih dalam mengontrol kesehatan dan lingkungan mereka, dan untuk membuat pilihan yang kondusif bagi kesehatan.
Memungkinkan masyarakat untuk belajar melalui kehidupan dalam menyiapkan diri mereka untuk semua tingkatannya dan untuk menangani penyakit dan kecelakaan sangatlah penting. Hal ini harus difasilitasi dalam sekolah, rumah, tempat kerja, dan semua lingkungan komunitas.
5. Reorientasi pelayanan kesehatan (reorient health services)
Tanggung jawab untuk promosi kesehatan pada pelayanan kesehatan dibagi di antara individu, kelompok komunitas, profesional kesehatan, institusi pelayanan kesehatan, dan pemerintah.
Mereka harus bekerja sama melalui suatu sistem perawatan kesehatan yang berkontribusi untuk pencapaian kesehatan. Peran sektor kesehatan harus bergerak meningkat pada arah promosi kesehatan, di samping tanggung jawabnya dalam menyediakan pelayanan klinis dan pengobatan. Pelayanan kesehatan harus memegang mandat yang meluas yang merupakan hal sensitif dan ia juga harus menghormati kebutuhan kultural. Mandat ini harus mendukung kebutuhan individu dan komunitas untuk kehidupan yang lebih sehat, dan membuka saluran antara sektor kesehatan dan komponen sosial, politik, ekonomi, dan lingkungan fisik yang lebih luas.
Reorientasi pelayanan kesehatan juga memerlukan perhatian yang kuat untuk penelitian kesehatan sebagaimana perubahan pada pelatihan dan pendidikan profesional. Hal ini harus membawa kepada perubahan sikap dan pengorganisasian pelayanan kesehatan dengan memfokuskan ulang kepada kebutuhan total dari individu sebagai manusia seutuhnya.
6. Bergerak ke masa depan (moving into the future)
Kesehatan diciptakan dan dijalani oleh manusia di antara pengaturan dari kehidupan mereka sehari-hari di mana mereka belajar, bekerja, bermain, dan mencintai. Kesehatan diciptakan dengan memelihara satu sama lain dengan kemampuan untuk membuat keputusan dan membuat kontrol terhadap kondisi kehidupan seseorang, dan dengan memastikan bahwa masyarakat yag didiami seseorang menciptakan kondisi yang memungkinkan pencapaian kesehatan oleh semua anggotanya.
Merawat, kebersamaan, dan ekologi adalah isu-isu yang penting dalam mengembangkan strategi untuk promosi kesehatan. Untuk itu, semua yang terlibat harus menjadikan setiap fase perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan promosi kesehatan serta kesetaraan antara pria dan wanita sebagai acuan utama.
D.    STRATEGI PROMOSI KESEHATAN
1.      Advokasi
Advokasi (advocacy) adalah kegiatan memberikan bantuan kepada masyarakat dengan membuat keputusan ( Decision makers ) dan penentu kebijakan ( Policy makers ) dalam bidang kesehatan maupun sektor lain diluar kesehatan yang mempunyai pengaruh terhadap masyarakat.   Dengan demikian, para pembuat keputusan akan mengadakan atau mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam bentuk peraturan, undang-undang, instruksi yang diharapkan menguntungkan bagi kesehatan masyarakat umum. Srategi ini akan berhasil jika sasarannya tepat dan sasaran advokasi ini adalah para pejabat eksekutif dan legislatif, para pejabat pemerintah, swasta, pengusaha, partai politik dan organisasi atau LSM dari tingkat pusat sampai daerah. Bentuk dari advokasi berupa lobbying melalui pendekatan atau pembicaraan-pembicaraan formal atau informal terhadap para pembuat keputusan, penyajian isu-isu atau masalah-masalah kesehatan yang mempengarui kesehatan masyarakat setempat, dan seminar-seminar kesehatan. .( Wahid Iqbal Mubarak, Nurul Chayantin2009 ).
Advokasi Kesehatan, yaitu pendekatan kepada para pimpinan atau pengambil kebijakan agar dapat memberikan dukungan masksimal, kemudahan perlindungan pada upaya kesehatan (Depkes 2001). Menurut para ahli retorika Foss dan Foss et. All 1980, Toulmin 1981 (Fatma Saleh 2004), advokasi suatu upaya persuasif yang mencakup kegiatan-kegiatan penyadaran, rasionalisasi, argumentasi dan rekomendasi tindak lanjut mngenai sesuatu.
Organisasi non pemerintah (Ornop) mendefensisikan Advokasi sebagai upaya penyadaran kelompok masyarakat marjinal yang sering dilanggar hak-haknya (hukum dan azasi). Yang dilakukan dengan kampanye guna membentuk opini public dan pendidikan massa lewat aksi kelas (class action) atau unjuk rasa.
1)      Tujuan Advokasi
Tujuan umum advokasi adalah untuk mendorong dan memperkuat   suatu perubahan dalam kebijakan, program atau legislasi, dengan memperkuat basis dukungan sebanyak mungkin.
2)      Fungsi Advokasi
Advokasi berfungsi untuk mempromosikan suatu perubahan dalam kebijakan program atau peraturan dan mendapatkan dukungan dari pihak-pihak lain.
3)      Persyaratan untuk Advokasi
a)      Dipercaya (Credible), dimana program yang ditwarkan harus dapat meyakinkan para penentu kebijakan atau pembuat keputusan , oleh karena itu harus didukung akurasi data dan masalah.
b)      Layak (Feasible), program yang ditawarkan harus mampu dilaksanakan secara tejhnik prolitik maupun sosial.
c)      Memenuhi Kebutuhan Masyarakat (Relevant)
d)     Penting dan mendesak (Urgent), program yang ditawarkan harus mempunyai prioritas tinggi
4). Pendekatan kunci Advokasi
a). Melibatkan para pemimpin/ pengambil keputusan
b). Menjalin kemitraan
c). Memobilisasi kelompok peduli.
2.      Kemitraan
Di Indonesia istilah Kemitraan  (partnership) masih relative baru, namun demikian prakteknya di masyarakat sebenarnya sudah terjadi sejak saman dahulu. Sejak nenek moyang kita telah mengenal istilah gotong royong yang sebenarnya esensinya kemitraan.
Robert Davies, ketua eksekutif “The Prince of Wales Bussines Leader Forum” (NS Hasrat jaya Ziliwu, 2007) merumuskan, “Partnership is a formal cross sector relationship between individuals, groups or organization who :
  • Work together to fulfil an obligation or undertake a specific task
  • Agree in advance what to commint and what to expect
    • Review the relationship regulary and revise their agreement as  necessary, and
  • Share both risk and the benefits
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kemitraan adalah suatu kerjasama formal antara individu-individu, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi untuk mencapai suatu tugas atau tujuan tertentu. Dalam kerjasama tersebut ada kesepakatan tentang komitmen dan harapan masing-masing, tentang peninjauan kembali terhadap kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat,dan saling berbagi baik dalam resiko maupun keuntungan yang diperoleh.
Dari definisi ini terdapat tiga (3) kata kunci dalam kemitraan, yakni:
a)     Kerjasama antar kelompok, organisasi dan Individu
b)     Bersama-sama mencapai tujuan tertentu ( yang disepakati bersama )
c)     Saling menanggung resiko dan keuntungan
Pentingnya kemitraan (partnership) ini mulai digencarkan oleh WHO pada konfrensi internasional promosi kesehatan yang keempat di Jakarta pada tahun 1997. Sehubungan dengan itu perlu dikembangkan upaya kerjasama yang saling memberikan manfaat. Hubungan kerjasama tersebut akan lebih efektif dan efisien apabila juga didasari dengan kesetaraan.
Mengingat kemitraan adalah bentuk kerjasama atau aliansi, maka setiap pihak yang terlibat didalamnya harus ada kerelaan diri untuk bekerjasama dan melepaskan kepentingan masing-masing, kemudian membangun kepentingan bersama.Oleh karena itu membangun kemitraan harus didasarkan pada hal-hal berikut:
a)    Kesamaan perhatian (Commont interest) atau kepentingan
b)   Saling mempercayai dan menghormati
c)    Tujuan yang jelas dan terukur
d)   Kesediaan berkorban baik waktu, tenaga maupun sumber daya yang lain.
2.  Prinsip, Landasan dan Langkah Dalam Pengembangan Kemitraan
Dalam membangun Kemitraan ada tiga (3) prinsip kunci yang perlu dipahami oleh masing-masing anggota kemitraan  (NS Hasrat jaya Ziliwu, 2007), yakni :
a)    Equity (Persamaan)
Individu, organisasi atau Individu yang telah bersedia menjalin kemitraan harus merasa “duduk sama rendah berdiri sama tinggi”.Oleh sebab itu didaam vorum kemitraan asas demokrasi harus diutamakan, tidak boleh satu anggota memaksakan kehendak kepada yang lain karena merasa lebih tinggi dan tidak ada dominasi terhadap yang lain.
b)   Transparancy (Keterbukaan)
Keterbukaan maksudnya adalah apa yang menjadi kekuatan atau kelebihan atau apa yang menjadi kekurangan atau kelemahan masing-masing anggota harus diketahui oleh anggota lainnya.Demikian pula berbagai sumber daya yang dimiliki oleh anggota yang Satu harus diketahui oleh anggota yang lain. Bukan untuk menyombongkan yang satu tehadap yang lainnya, tetapi lebih untuk saling memahami satu dengan yang lain sehingga tidak ada rasa saling mencurigai.Dengan saling keterbukaan ini akan menimbulkan rasa saling melengkapi dan saling membantu diantara anggota.
c)    Mutual Benefit ( Saling menguntungkan )
Menguntungkan disini bukan selalu diartikan dengan materi ataupun uang, tetapi lebih kepada Non materi.Saling menguntungkan disini lebih dilihat dari kebersamaan atau sinergitas dalam mencapai tujuan bersama.
Tujuh (7) landasan, yaitu : saling memahami kedudukan, tugas dan fungsi (kaitan dengan struktur); saling memahami kemampuan masing-masing (kapasitas unit/organisasi); saling menghubungi secara proaktif (linkage); saling mendekati, bukan hanya secara fisik tetapi juga pikiran dan perasaan (empati, proximity); saling terbuka, dalam arti kesediaan untuk dibantu dan membantu (opennes); saling mendorong/mendukung kegiatan (synergy); dan saling menghargai kenyataan masing-masing (reward).
Enam (6) langkah  pengembangan : penjajagan/persiapan, penyamaan persepsi, pengaturan peran, komunikasi intensif, melakukan kegiatan, dan melakukan pemantauan & penilaian.
  1. Peran Dinas Kesehatan dalam Pengembangan Kemitraan di Bidang Kesehatan.
Beberapa alternatif peran yang dapat dilakukan, sesuai keadaan, masalah dan potensi setempat adalah :
a)      Initiator : memprakarsai kemitraan dalam rangka sosialisasi dan operasionalisasi Indonesia Sehat.
b)      Motor/dinamisator : sebagai penggerak kemitraan, melalui pertemuan, kegiatan bersama, dll.
c)      Fasilitator : memfasiltasi, memberi kemudahan sehingga kegiatan kemitraan dapat berjalan lancar.
d)     Anggota aktif : berperan sebagai anggota kemitraan yang aktif.
e)      Peserta kreatif : sebagai peserta kegiatan kemitraan yang kreatif.
f)       Pemasok input teknis : memberi masukan teknis (program kesehatan).
g)      Dukungan sumber daya : memberi dukungan sumber daya sesuai keadaan, masalah dan potensi yang ada.
  1. Indikator Keberhasilan
a)    Indikator input
Jumlah mitra yang menjadi anggota.
b)    Indikator proses :
Kontribusi mitra dalam jaringan kemitraan, jumlah pertemuan yang diselenggarakan, jumlah dan jenis kegiatan bersama yang dilakukan, keberlangsungan kemitraan yang dijalankan.
c)    Indikator output   :
Jumlah produk yang dihasilkan, percepatan upaya yang dilakukan, efektivitas dan efisiensi upaya yang diselenggarakan.
3.      Pemberdayaan Masyarakat ( Empowerment )
Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain  melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Ilmu sosial tradisional menekannkan bahwa kekuasaan berkaitan dengan  pengaruh dan kontrol. Pengertian ini mengasumsikan bahwa kekuasaan sebagai suatu yang tidak berubah atau tidak dapat dirubah. Kekuasaan tidak vakum dan terisolasi. Kekuasaan senantiasa hadir dalam konteks relasi sosial antara manusia.  Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial. Karena itu, kekuasaan dan hubungan kekuasaaan dapat berubah. Dengan pemahaman kekuasaan seperti ini, pemberdayaan sebagai sebuah proses perubahan kemudian memiliki konsep yang bermakna. Dengan kata lain, kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua hal :
  1. Bahwa kekuasaan dapat berubah, Jika kekuasaan tidak dapat berubah pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun.
  2. Bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis.
Pemberdayaan (Empowernment) adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan barat, utamanya Eropa. Untuk memahami konsep pemberdayaan secara tepat dan jernih memerlukan upaya pemahaman latar belakang kontekstual yang melahirkannya. Konsep tersebut telah begitu meluas diterima dan dipergunakan, mungkin dengan pengertian presepsi yang berbeda satu dengan yang lain. Penerimaan dan pemakaian konsep tersebut secara kritikal tentulah meminta kita mengadakan telaah yang sifatnya mendasar dan jernih.
Konsep pemberdayaan mulia Nampak disekitar decade 70-an, dan kemudian berkembang terus sepanjang decade 80-an dan sampai decade 90-an atau akhir abad ke-20 ini. Diperkirakan konsep ini muncul bersamaan dengan aliran-aliran seperti Eksistensialisme, Phenomelogi, Personalisme, kemudian lebih dekat dengan gelombang New-Marxisme, freudialisme, aliran-aliran seperti Sturktualisme dan Sosiologi Kritik Sekolah Frankfurt serta konsep-konsep seperti elit, kekuasaan, anti-astabilishment, gerakan populasi, anti-struktur, legitimasi, ideology, pembebasn dan konsep civil society (Pranarka & Moeljarto, 1996).
Istilah Pemberdayaan masyarakat tidak menganut pendekatan mobilisasi tetapi partisipatif. Pada pendekatan partisipatif ini, perencana, agents dan masyarakat yang dijadikan sasaran pembangunan bersama-sama merancang dan memikirkan pembangunan yang diperlukan oleh masyarakat (Sairin, 2002)
Pemberdayaan masyarakat (community empowerment) kini telah dijadikan sebuah strategi dalam membawa masyarakat dalam kehidupan sejahtera secara adil dan merata. Strategi ini cukup efektif memandirikan masyarakat pada berbagai bidang, sehingga dibutuhkan perhatian yang memadai. Oleh kerena itu, Menteri Kesehatan Republik Indonesia Achmad Suyudi mengingstruksikan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menggerakkan masyarakat melakukan upaya-upaya pencegahan penyakit (http://www.depkes.go.id/ ).
Pemberdayaan masyarakat secara umum lebih efektif jika dilakukan melalui program pendampingan masyarakat (community organizing and defelopment), karena pelibatan masyarakat sejak perencanaan (planning), pengorganisasian (Organising), pelaksanaan (Actuating) hingga evaluasi atau pengawasan (Controlling) program dapat dilakukan secara maksimal. Upaya ini merupakan inti dari pelaksanaan pemberdayaan masyarakat (Halim, 2000).
Pelibatan masyarakat melalui pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen; perencanaan (Planning), pengorganisasiaa.n (Organising), pelaksanaan (Actuating) hingga evaluasi atau pengawasan (Controlling) program atau biasa disingkat POAC telah diadopsi untuk program-program bidang kesehatan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan derajad kesehatan masyarakat (Notoadmojo, 2003).
1.  Perencanaan (Planning)
Perencanaan adalah suatu kegiatan atau proses penganalisaan dan pemahaman system, penyusunan konsep dan kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan demi masa depan yang baik (Notoadmojo, 2003)
Beberapa batasan tentang perencanaan yang penting diketahui :
  1. Perencanaan adalah kemampuan untuk memilih suatu kemungkinan yang tersedia dan yang dipandang paling tepat untuk mencapai tujuan
  2. Perencanaan adalah pekerjaan yang menyangkut penyusunan konsep serta kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan demi mas depan yang lebih baik
  3. Perencanaan adalah upaya menyusun berbagai keputusan yang bersifat pokok yang dipandang paling penting dan yang akan dilaksakan menurut urutannya guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan
  4. Perencanaan adalah proses menetapkan pengarahan yang resmi dan menetapkan berbagai hambatan yang dipikirkan dan dalam menjalankan suatu pogram guna dipakaisebagai pedoman dalam suatu organisasi
  5. Perencanaan adalah proses kerja yang terus menerus yang meliputi pengambilan keputusan yang bersifat pokok dan penting dan yang akan dilaksakan secara sistematik, melakukan perkiraan-perkiraan dengan mempergunakan segala pengetahuan yang ada tentang masa depan, mengorganosir secara sistematik segala upaya yang dipandang perlu untuk melaksanakan segala keputusan yang telah ditetapkan, serta mengukur keberhasilan dalam pelaksanaan segala keputusan tersebut dengan membandingkan hasil yang dicapai terhadap target yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan umpan balik yang diterima dan yang telah disusun secara teratur dan baik
2.  Pengorganisasian (Organizing)
Pengorganisasian adalah  pengkordinasian kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan suatu institusi, guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Perencanaan mencakup; hal yang diorganisasikan, proses pengorganisasian dan hasil pengorganisasian (Notoadmojo, 2003).
Peranan fungsi pengorganisasian sangat penting karena apabila fungsi pengorganisasian telah berhasil dilaksakan, maka berbagai hal yang tercantum dalam suatu rencana (paln), telah mendapat pengaturan, sehingga siap dilaksakan (Azwar, 1996).
Beberapa batasan tentang pengorganisasian yang penting diketahui ialah:
  1. Pengorganisasian adalah pengelompokan berbagai kegiatan yang diperlukan untuk melaksanakan suatu rencana sedemikian rupa sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan memuaskan.
  2. Pengorganisasian adalah pengaturan sejumlah porsonil yang dimilki untuk memungkinkan tercapainya suatu tujuan yang telah disepakati dengan jalan mengalokasikan masing-masing fungsi dan tanggung jawab.
  3. Pengorganisasian adalah pengkordinansiaan secara sosial bebagai kegiatan dari sejumlah orang tertentu untuk mencapai tujuan bersama melalui pengaturan pembagian kerja dan fungsi menurut penjengjangannya secara bertanggung jawab.
    1. Pelaksanaan (Actuating)
Setelah perencanaan (Planning) dan pengorganisasian (Organizing) selesai dilakukan, mak selanjutnya selanjutnya yang akan ditempuh adalah pelaksanaan (Actuating). Tahapan pelaksanaan ini tidak mudah karena dalam melaksanakan aktivitas yang dimaksud, memerlukan suatu keterampilan khusus (Azwar, 2003).
Dalam pelaksanaan suatu rencana, seorang administrator dan ataupun menejer, perlu menguasai berbagai pengetahuan dan keterampilan yang jika disederhanakan dapat dibedakan atas enam macam, yakni:
  1. Pengetahuan dan keterampilan motivasi (motivation)
  2. Pengetahuan dan keterampilan komunikasi (communication)
  3. Pengetahuan dan keterampilan kepemimpinan (leadership)
  4. Pengetahuan dan keterampilan pengarahan (directing)
  5. Pengetahuan dan keterampilan pengawasan (controlling)
  6. Pengetahuan dan keterampilan supervise (supervition)
Pada tahapan ini keterlibatan masyarakat sangat dibutuhkan Karena masyarakat potensi yang siknifikanyang bias menggerakkan program. Di sisi lain,jika masyarakat tidak dilibatkan maka mereka akan apatis bahkan menghambat program yang dikembangkan.
  1. Pengawasan (Conrolling)
Fungsi majemen yang tidak kalah pentingnya adala pengawasan (controlling). Perencanaan, pengorganisasian dan pelaksanaan yang tidak diikuti pengawasan maka niscaya akan mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan pokok dan fungsi pengawasan adalah agar kegiatan-kegiatan dan orang-orang yang melakukan kegiatan yang telah direncanakan tersebut dapat berjalan dengan baik.
Masyarakat dalam konteks pengawasan memiliki posisi strategis. Masyarakat adalah massa yang bias melakukan pengawasan yang ketat sekaligus yang bias mendukung kegiatan secara meyakinkan. Dalam era transisi selama ini, masyarakat adalah pengawas yangpaling diharapkan.
Pengawasan adalah suatu proses untuk mengukur penampilan kegiatan atau pelaksanaan kegiatan suatu program yang selanjutnya memberikan pengarahan-pengarahan sehingga tujuanyang telah ditetapkan dapat tercapai. Agar pengawasan dapat berjalan dengan baik, sekurang-kurangnya tiga hal yang perlu diperhatikan, yakni; obyek pengawasan, metode pengawasan, dan proses pengawasan.
Pemberdayaan masyarakat merupakan issu strategis dalam upaya kesehatan, namun pelaksanaan belum seprti yang diharapkan. Oleh karena itu, salah satu poin dalam visi pelaksanaan pembangunan kesehatan kita adalah mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat, dengan pertimbangan bahwa kesehatan adalah tanggungjawab bersama setiap individu, masyarakat, pemerintah, dan swasta. Apapun peran yang dijalankan oleh perintah, tanpa kesadaran individu dan masyarakat untuk secara mandiri menjaga kesehatan mereka, hanya sedikit yang akan dicapai. Perilaku sehat dan kemampuan untuk memilih atau memanfaatkan pelayanan kesehatan yang bermutu sangat menentukan dalam pembangunan kesehatan. Oleh Karena itu salah satu upaya kesehatan pokok atau misi sector kesehatan adalah mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat (Depkes RI, 1999).
Dalam bidang kesehatan, Pelaksanaan Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu upaya meningkatkan kemampuan masyarakat guna mengangkat harkat hidup, martabat dan derajat kesejahteraan, dan meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyrakat agar dapat mengembangkan diri dan memperkuat sumber daya yang dimiliki untuk mencapai kemajuan (Leksono, 2004).
Dalam pelaksanaan program-program pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan, perlu diperhatikan karakteristik masyarakat setempat yang dapat dikelompokkan sebagai nerikut :
  1. Masyarakat Pembina (Carring community)
Yaitu, masyarakat yang peduli keseatan, misalnya; LSM kesehatan, Organisasi Profesi yang bergerak dibidang kesehatan.
  1. Masyarakat Setara (Coping Community)
Yaitu masyarakat yang karena kondisinya kurang memadai sehinnga tidak dapat memelihara kesehatannya. Misalnya seorang ibu sadar akan pentingnya pemeriksaan diri, tetapi karena keterbatasan ekonomi dan tidak adanya transportasi sehingga si ibu tidak pergi kesarana pelayanan kesehatan.
  1. Masyarakat Pemuda ( Crisis Response Community)
Yaitu masyarakat yang tidak tahu akan pentingnya kesehatan dan belum didukung oleh fasilitas yang tersedia. Misalnya, masyarakat yang berdomisili di lingkungan kumuh dan daerah terpencil (Soekanto, 2002)
Program pemberdayaan masyarakat pada bidang kesehatan kini telah banyak dikembangkan, baik oleh pemerintah maupun swasta terutama olek LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Pembangunan Indonesia Sehat 2010,yakni pengutamaan upaya-upaya promotif dan preventif. Pendekatan promosi kesehatan inovatif, berbasis trias epidemiologi dan proses psikologis komunikatif guna menyadarkan dan memotivasi masyarakat untuk mampu hidup sehat dan menghindari deritan disability serta ancaman kematian (Ngatimin, 2003)
2. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
  1. Pemerdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (Jim Ife, 1995 dalam Edi Suharto, 2006).
  2. Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Persons, 1994 dalam Edi Suharto 2006).
  3. Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur social (Edi Suharto 2006).
  4. Pemberdayaan adalah suatu cara dengan  mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport, 1984).
3. Kelompok Lemah dan Ketidakberdayaan
Tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat, khususnya kelompok lemah yang memiliki ketidakberdayaan, baik karena kondisi internal (misalnya persepsi mereka sendiri), maupun karena kondisi eksternal (misalnya ditindas oleh struktur social yang tidak adil). Guna melengkapi pemahaman mengenai pemberdayaan perlu diketahui konsep mengeni kelompok lemah dan ketidakberdayaan yang dialaminya. Beberapa kelompok yang dapat dikategorikan sebagai kelompok lemah atau tidak berdaya meliputi : (Edi Suharto, 2006).
  1. Kelompok lemah secara structural, baik lemah secara kelas, gender, maupun etnis.
  2. Kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak dan remaja, penyandang cacat, gay dan lesbian, masyarakat terasing.
  3. Kelompok lemah secara personal, yakni mereka yang mengalami masalah pribadi dan/ atau keluarga.
Kelompok-kelompok tertentu yang mengalami diskriminasi dalam suatu masyarakat, seperti masyarakat kelas social ekonomi rendah, kelompok minoritas etnis, wanita, populasi lanjut usia, serta para penyandang cacat, adalah orang-orang yang mengalami ketidakberdayaan. Keadaan dan perilaku mereka yang berbeda dari ‘keumuman’ kerapkali dipandang sebagai ‘deviant’ (penyimpang). Mereka seringkali kurang dihargai dan bahkan dicap sebagai orang yang malas, lemah yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Padahal ketidakberdayaan mereka seringkali merupakan akibat dari adanya kekurangadilan dan diskriminasi dalam aspek-aspek kehidupan tertentu.
Menurut Berger dan Nenhaus dan Nisbet (Edi Suharto, 2006), struktur-struktur penghubung (mediating structures) yang memungkinkan kelompok-kelompok lemah mengekspresikan aspirasi dan menunjukkan  kemampuannya terhadap lingkungan social yang lebih luas, kini cenderung melemah. Munculnya industrialisasi yang melahirkan spesialisasi kerja dan pekerjaan mobile telah melemahkan lembaga-lembaga yang dapat berperang sebagai struktur penghubung antara kelompok masyarakat lemah dengan masyarakat luas. Organisasi-organisasi sosial, lembaga-lembaga keagamaan (mesjid, gereja), dan lembaga keluarga yang secara tradisional merupakan lembaga alamiah yang dapat member dukungan dan bantuan informal, pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhan  para anggotanya, cenderung semakin  melemah peranannya. Oleh karena itu, seringkali sistem ekonomi yang diwujudkan dalam berbagai bentuk pembangunan proyek-proyek fisik, selain di satu pihak mampu meningkatkan kualitas hidup sekelompok orang, jnuga tidak jarang malah semakin meminggirkan kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat.
Ketidakberdayaan merupakan hasil dari pembentukan interaksi terus menerus antara individu dan lingkungannya yang meliputi kombinasi antara sikap penyalahan diri sendiri, perasaan yang tidak dipercaya, keterasingan dari sumber-sumber sosial dengan perasaan tidak mampu dalam perjuangan. Ketidakberdayaan dapat bersumber dari faktor internal maupun eksternal. ketidakberdayaan dapat berasal dari penilaian  diri yang negative, interaksi negative dengan lingkungan yang lebih besar ( Edi Suharto, 2006).
  1. Penilaian diri yang negative. Ketidakberdayaan dapat berasal dari adanya sikap penilaian negative yang ada pada diri seseorang yang terbentuk akibat adanya penilaian negative dari orang lain. Misalnya wanita atau kelompok minoritas merasa tidak berdaya karena mereka telah disosialisasikan untuk melihat diri mereka sendiri sebagai orang yang tidak memiliki kekuasaan tidak setara dalam masyarakat.
  2. Interaksi negative dengan orang lain. Ketidakberdayaan dapat bersumber dari pengalaman negative dalam interaksi antara korban yang tertindas dengan system di luar mereka yang menindasnya. Sebagai contoh, wanita atau kelompok minoritas seringkali mengalami pengalaman negative dengan  masyarakat di sekitarnya. Pengalaman pahit ini kemudian menimbulkan perasaan tidak berdaya, misalnya rendah diri, merasa tidak mampu, merasa tidak patut bergabung dengan  organisasi social dimana mereka berada.
  3. Lingkungan yang lebih luas dapat menghambat peran dan tindakan kelompok tertentu. Situasi ini dapat mengakibatkan tidak berdayanya kelompok yang tertindas tersebut dalam mengekspresikan atau menjangkau kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Misalnya kebijakan  yang diskriminatif terhadap kelompok gay atau lesbian dalam memperoleh pekerjaan dan pendidikan.
4. Indikator Keberdayaan
Menurut Kieffer (1981), pemberdayaan mencakup tiga dimensi yang meliputi kompetensi kerakyatan, kemampuan sosiopolitik, dan kompetensi partisipatif. Parsons (1994) juga mengajukan tiga dimensi pemberdayaan yang merujuk pada : (Edi Suharto, 2006)
  1. Sebuah proses pembangunan yang bermula dari pertumbuhan individual yang kemudian berkembang menjadi sebuah perubahan social yang lebih besar.
  2. Sebuah keadaan psikologis yang ditandai oleh rasa percaya diri, berguna dan mampu mengendalikan diri dan orang lain.
  3. Pembebasan yang dihasilkan dari sebuah gerakan social, yang dimulai dari pendidikan dan politisasi orang-orang lemah dan kemudian melibatkan upaya-upaya kolektif dari orang-orang lemah tersebut untuk memperoleh kekuasaan dan mengubah struktur-struktur yang masih menekan (Parsons,1994).
5. Konsep Pemberdayaan Masyarakat (Empowerment)
a. Konsep Masyarakat
Terdapat dua kelompok teori, yaitu : a). Kelompok teori dengan perspektif sistem ekologi, b). Kelompok teori dngan perspektif system social. Perspektif sistem ekologi mengarah pada penjelasan tentang masyarakat sebagai kesatuan individu yang tinggal pada wilayah geografis tertentu. Oleh karena itu , fokus penjelasan persfektif sistem ekologi meliputi : besar masyarakat, kepadatan, keanekaragaman, lingkungan fisik, organisasi dan struktur sosial, serta tehnologi yang digunakan masyarakat. Adapun persfektif sistim sosial menjelaskan tentang sistim pengorganisasian dalam masyarakat, menggali interaksi antara subsistem dalam masyarakat (yang meliputi aspek ekonomi, politik), secara horizontal didalam masyarakat, secara vertikal dengan masyarakat yang lain, dengan masyarakat yang lebih besar .
Pemberdayaan masyarakat telah menjadi arus utama dalam model pembangunan dibanyak Negara dan masyarakat. Berdasarkan telaah tentang model-model pembangunan yang dialami banyak Negara termasuk Indonesia, terdapat 6 pendekatan utama pembangunan, yaitu pendekatan pertumbuhan, pendekatan pertumbuhan dan pmerataan, paradigma ketergantungan, tata ekonomi internasional baru, pendekatan kebutuhan pokok, dan pendekatan kemandirian. (Notoatmodjo, 2005).
Berbagai pendekatan pembangunan diatas, selain menunjukkan adanya hasil-hasil tertentu, tetapi ternyata juga masih ada keterbatasan. Apalagi bahwa jika ditelaah terdapat berbagai sumber keterbelakangan, yang tidak mudah untuk dinyatakan apakah factor tersebut sebagai hasil, sebagai penyebab,atau variable antara. Meskipun demikian , bias dikatakan terdapat paling tidak 6 sumber keterbelakangan masyarakat, yaitu :1) Kebodohan, 2) Kekakuan tradisi, 3) Penduduk yang tidak terampil, 4) Konsumtif, 5) tidak mampu alih teknologi/waralaba, dan salah penempatan/penggunaan dibawah kemampuan. Dalam negara yang sedang berkembang terdapat siklus keadaan yang merupakan suatu lingkaran yang tidak berujung yang menghambat perkembangan masyarakat secara keseluruhan. Secara sederhana lingkaran tersebut terdiri dari keadaan sosial ekonomi rendah yang mengakibatkan ketidakmampuan dan ketidaktahuan, yang secara otomatis mengakibatkan produktifitas juga ikut rendah. Dan selanjutnya juga membuat keadaan sosial ekonomi semakin rendah dan seterusnya. (Notoatmodjo, 2005).
Dalam masyarakat itu sendiri sebenarnya terdapat suatu dinamika yang membuat mereka mampu bertahan dalam keadaan yang sulit dan hal itu sebenarnya merupakan potensi yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Sampai seberapa jauh potensi ini berkembang dapat terlihat dari keadaan perkembangan masyarakat itu sendiri. Pada masyarakat yang sudah berkembang maka hal ini menunjukkan bahwa mereka telah dapat memanfaatkan potensi yang mereka miliki, sedangkan pada masyarakat yang belum berkembang berarti mereka belum banyak memanfaatkan potensi yang mereka miliki.
Secara sederhana dinamika masyarakat ini dapat digambarkan sebagai sebuah piringan berputar. Kecepatan tertentu akan membuat pringan tersebut bergerak naik dan kecepatan di bawah batas tertentu akan membuat pringan tersebut bergerak naik dan kecepatan di bawah batas tertentu akan membuat piringan tersebut bergerak turun. Proses pengembangan masyarakat merupakan usaha untuk memberikan percepatan kepada piringan tersebut agar bergerak naik. Dari perumpamaan secara sederhana tersebut dapat dibayangkan bahwa gerakan naik akan terjadi jika daya putar piringan tersebut ditingkatkan atau diberi daya dari luar pada saat dan dengan cara yang tepat. Dan jelaslah pula kiranya bahwa proses pengembangan masyarakat harus bertitik tolak dari dinamika yang sudah dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, setiap usaha yang bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan dinamika masyarakat, hendaknya menempuh langkah-langkah sebagai berikut :
a)    Ciptakan kondisi agar potensi setempat dapat dikembangkan dan dimanfaatkan. Potensi ini serigkali tidak dapat digunakan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatkarena adanya berbagai hambatan. Diperlukan kemampuan mengenal hambatan-hambatan ini untuk selanjutnya bersama masyarakat menciptakan suatu kondisi agar potensi yang sudah ada dapat dimanfaatkan untuk peningkatan taraf hidup.
b)   Pertinggi mutu potensi yang ada. Tergalinya potensi setempat harus diikuti dengan peningkatan mutu agar dapat diperoleh manfaat yang optimal. Ini dapat dilakukan dengan jalan mengikutsertakan masyarakat setempat sejak awal kegiatan hingga pelaksanaan dan perluasan kegiatan, dengan mengadakan kegiatan pendidikan non formal.
c)    Usahakan kelangsungan kegiatan yang sudah ada. Terjemahanya kegiatan sebagai wujud pemanfaatan potensi yang ada bukanlah suatu tujuan akhir. Harus diusahakan agar kegiatan tersebut tidak berhenti di sana saja tetapi diikuti dengan kegiatan lain sebagai hasil daya cipta masyarakat. Untuk itu maka setiap kegiatan harus menimbulkan kepuasan agar timbul gairah dan daya cipta; harus dipilih kegiatan-kegiatan yang mempunyai kelanjutan; serta diadakan latihan untuk pembentukan kader dan diikuti dengan usaha meningkatkan keterampilannya.
d)   Tingkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Tujuan akhir daripada usaha meningkatkan dinamika masyarakat adalah agar sebagai hasil proses pengembangan dapat ditingkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
b. Persiapan Sosial
Kehidupan masyarakat desa yang tidak mempunyai media massa cenderung tidak menyadari waktu. Karena itu dalam masyarakat yang terisolir pengetahuan merupakan kekuatan dalam arti orang yang berumur dianggap orang yang berpengetahuan sehingga orang tersebut mendapatkan semacam kekuasaan karena merekalah yang mengetahui hal-hal yang sakral, serta norma-norma yang sudah merupakan hukum. Dalam masarakat demikian maka komunikasi terutama berfungsi untuk menyimpan dan meneruskan pengetahuan pada generasi berikutnya.
Bila alat-alat media massa masuk ke desa maka akan terjadi revolusi yaitu revolusi konsep-konsep mengenai kehidupan, idea dan revolusi masyarakat itu sebagai sistem. Komunikasi merupakan suatu proses pemberian idea ataupun kebutuhan dari sikomunikator kepada sipenerima. Dalam komunikasi massa yang terjadi hanya komunikasi satu arah karena sipenerima tidak bisa memberikan umpan balik secara langsung sehingga tidak ada dialog. Dalam hal ini perlu sekali diperhatikan oleh komunikator apa-apa yang harus disampaikan yang kira-kira sesuai dengan keinginan penerima.Agar suatu program dapat berjalan dengan baik, persiapan-persiapan yang harus dilakukan bukan hanya pada aspek-aspek teknis program itu sendiri seperti misalnya biaya dan material yang diperlukan tetapi juga harus ikut dipersiapkan lingkungan masyarakat dimana program itu akan dilaksanakan.
Tujuan dari persiapan sosial ini adalah agar masyarakat ikut berpatisipasi secara aktif sejak awal kegiatan hingga fase pelaksanaan dan pembinaan program. Dalam persiapan sosial ini, ada tiga tahap yang harus dilalui, yaitu:1). Tahap pengenalan masyarakat, 2). tahap pengenalan masalah, dan 3). Tahap penyadaran masyarakat. Dalam pelaksanaan ketiga tahapan tersebut, bukanlah merupakan tahap-tahap yang secara tegas terpisah satu sama lain, tetapi merupakan tahap yang saling tumpang tindih (over lapping).
c. Partisipasi dan Peranan Organisasi Lokal
Partisipasi yang bertanggung jawab sebaiknya dimiliki setiap organisasi lokal. Partisipasi dapat dicapai bila mengetahui dengan jelas apa yang diharapkan dari kegiatan yang dilakukan.Dengan sendiriya dibutuhkan pembagian tugas pada masing-masing anggota dalam organisasi tersebut. Setiap organisasi lokal memiliki massa, memiliki pimpinan dan program. Setelah dapat memberikan motivasi kepada pimpinan, serta memiliki program yang sesuai dengan kondisi masyarakat setempat, maka dapatlah dilakukan penggerakan massa berdasarkan program tersebut. Pemberian tanggung jawab penuh pada organisasi lokal sangat penting dalam rangka partisipasi masyarakat dalam suatu program berupa pemberian fasilitas fisik seperti pemanfaatan ruang untuk pertemuan, alat-alat transportasi, pemondokan, dan sebagainya. Serta pemberian fasilitas non fisik seperti mekanisme kontrol, dukungan moral,  bantuan tenaga dan pikiran, dan sebagainya.










Referensi:
http://id.wikipedia.org/wiki/promosi kesehatan, diakses tanggal 25 September 2008
Iqi, Iqbal, 2008, Promosi Kesehatan, dalam http://iqbal-iqi.blogspot.com, diakses tanggal 15 Oktober 2008.
Kapalawi, Irwandi, 2007, Tantangan Bidang Promosi Kesehatan Dewasa Ini, dalam Irwandykapalawi.wordpress.com, diakses tanggal 25 September 2008.
Tawi, Mirzal, 2008, Pemberdayaan Masyarakat dalam Promosi Kesehatan, diambil dari http://syehaceh.wordpress.com/2008/05/13/pemberdayaan-masyarakat-dalam-promkes, diakses tanggal 15 Oktober 2008
Taylor, Shelley E., 2003, Health Psychology, 5th edition, New York: McGraw Hill.
WHO, 1986, The Ottawa Charter for Health Promotion, Geneva: WHO, dari http://www.who.int/health promotion/conferences/previous/ottawa/en/, diakses tanggal 25 September 2008.
WHO, 1998, Health Promotion Glossary, Geneva: WHO
















KESEJAHTERAAN LANSIA

A.    Berdasarkan UU. No: 13 thn 1998

1.      Kesejahteraan: suatu tata kehidupan & penghidupan sosial baikmaterial/ spiritual yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan &ketentraman lahir batin yg memungkinkan pemenuhan kebutuhanjasmani, rohani, dan sosial
2.      Lanjut usia potensial: lanjut usia yg masih mampu melakukanpekerjaan dan atau kegiatan yang menghasilkan barang/ jasa
3.      Lansia tidak potensial; lanjut usia yg tidak berdaya mencarinafkah sehingga hidupnya bergantung pd orang lain
4.      Perlindungan sosial: upaya pemerintah /masyarakat untukmemberikan kemudahan pely. bagi lansia tidak potensial agar - mewujudkan & menikmati taraf hidup yang wajar
5.      Bantuan sosial: upaya pemberian bantuan sosial yg bersifat tidaktetap agar lansia potensial dapat meningkatkan taraf kesejahteraansosialnya
6.      Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial: upaya perlindungan danpely. yg bersifat terus menerus agar lansia dapat mewujudkan danmenikmati taraf hidup yg wajar
7.      Pemberdayaan: setiap upaya meningkatkan kemampuan fifik,mental spiritual, sosial, pengetahuan & keterampilan siapdidayagunakan sesuai kemampuan

B. Upaya Kesejahteraan Sosial Lansia
1.      Pelayanan keagamaan & mental spiritual
2.      Pelayanan Kesehatan
- Penyuluhan& penyebarluasan informasi kesehatan Lansia
- Upaya penyembuhan, yg diperluas ---- pely. Geriatrik/ gerontologi
- Pengembangan lembaga perawatan lanjut usia – peyk. kronis/Terminal
Kegiatan kesehatan di kelompok usia lanjut
1.      Pelayanan kesehatan meliputi pemeriksaan kesehatan fisik dan mental emosional.
2.      Pemeriksaan aktifitas kegiatan sehari-hari (activity of daily living)
3.      Pemeriksaan status mental
4.      Pemeriksaan status gizi
5.      Pengukuran tekanan darah
6.      Pemeriksaan hb
7.      Pemeriksaan adanya gula dalam urine
8.      Pemeriksaan protein dalam urine
9.      Rujukan ke puskesmas
10.  Penyuluhan
11.  Kunjungan rumah (public health nursing)
12.  Kegiatan olahraga: senam, gerak jalan

3.      Pelayanan kesempatan kerja
Sektor formal: lembaga baik pemerintah/ masyarakat
 non formal : perorangan (wiraswastra), kelompok(home industri)
4.      Pelayanan pendidikan & latihan
Untuk meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, kemampuan & pengalaman lanjut usia
5.      Pelayanan Kemudahan penggunaan fasilitas, sarana &prasarana umum
- Pemberian kemudahan pely. Administrasi pemerintahan & masyarakat
- Pemberian kemudahan pely. & keringanan biaya
- Pemberian kemudahan melakukan perjalanan
- Penyediaan fasilitas rekreasi & olah raga khusus

6.      Pemberian kemudahan layanan & bantuan hukum
- Penyuluhan & konsultasi hukum
- Layanan & bantuan hukum diluar/ dalam pengadilan

7.      Bantuan sosial
Diberikan pada lansia potensial yg tdk mampu - agar dapat meningkatkan taraf kesejahteraan
Bersifat tdk tetap, berbentuk material, finansial, fasilitas pely. & informasi ---- kemandirian

8.      Perlindungan sosial
“diberikan pada lansia tdk potensial agar dapat mewujudkan taraf hidup yang wajar,
Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial diselenggaraka baik didalam maupun diluar panti,  tidak dilakukan pd lansia tdk potensial

Tidak ada komentar:

Posting Komentar